Feeds:
Posts
Comments

Archive for March, 2011

Sore tadi saya mengunjungi salah satu blog favorit yaitu presentation zen dan ternyata ada posting baru yang berjudul fall down seven times, get up eight: The power of Japanese resilience (jatuh tujuh kali, bangun delapan kali : kekuatan pemulihan Jepang).

Di blog tersebut diceritakan mengenai kekuatan dan ketabahan bangsa Jepang dalam pemulihan pasca bencana alam yang menerpa mereka pada 11 Maret 2011 silam. Kekuatan dan ketabahan mereka berakar dari filosofi yang mereka anut turun temurun. Salah satunya adalah filosofi Gambaru (頑張る). Arti dari Gambaru sendiri yang saya ambil dari blog presentation zen adalah:

the idea of sticking with a task with tenacity until it is completed—of making a persistent effort until success is achieved.

Dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti

Bekerja/berusaha keras pada tugas sampe tugas itu selesai – berusaha keras hingga mencapai sukses.

Di posting kali ini, saya ingin berbagi mengenai pengalaman saya selama tinggal di Jepang yang berhubungan dengan filosofi ini. Pengalaman yang akan saya ceritakan adalah pengalaman yang saya lihat, dengar dan rasakan selama saya tinggal di negeri Sakura.

Teman-teman saya yang berasal dari Jepang sering mengucapkan “Gambatte Kudasai” (がんばってください) yang berarti “lakukan sebaik mungkin”, “jangan menyerah” atau “berikan usaha terbaik”. Gambatte sendiri merupakan bentuk imperatif dari Gambaru. Kata-kata itu merupakan ucapan penyemangat baik dalam kegiatan akademik (belajar) atau kompetisi olahraga.

Apa yang saya pelajari dari mereka bangsa Jepang adalah komitmen tinggi mereka pada pekerjaan. Bangsa Jepang terkenal dengan budaya kerja keras mereka. Ada yang berkata mereka bisa seperti itu karena keadaan negeri mereka yang senantiasa mendapat tantangan dari alam. Gempa, tsunami, gunung berapi, angin ribut, iklim 4 musim sampai pengalaman mereka di medan perang (bom Hiroshima dan Nagasaki).

Jadi, bagaimana pun rusaknya negeri mereka, mereka akan senantiasa bangkit karena kultur pekerja keras mereka sudah berakar kuat. Dan kultur ini terus menerus diajarkan kepada generasi selanjutnya, bahkan kepada warga asing yang tinggal di Jepang.

Pernah suatu ketika saya naik bus sepulang dari kampus. Di bus tersebut terdapat beberapa anak Jepang sepulang dari sekolah. Ketika salah seorang dari mereka turun di pemberhentian bus, secara serentak teman-teman mereka berkata “gambatte kudasai”.

Nah, berikut beberapa pengalaman serta pelajaran lain yang bisa kita ambil:

Dedikasi terhadap pekerjaan

Saya punya seorang teman Indonesia yang berkerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit di Ishikawa Prefecture (tempat saya tinggal). Dia berkata bahwa jam kerja “resmi” para perawat untuk shift pagi adalah hingga pukul 4 sore. Namun, ketika waktu menunjukan pukul 4 sore, tidak ada satupun perawat Jepang yang bersiap-siap untuk pulang. Mereka baru pulang pada pukul 7 atau 8 malam.

Menurut teman saya itu,

orang Jepang bekerja di jam kerja normal adalah pekerjaan WAJIB mereka. Pekerjaan wajib yang harus mereka lakukan karena mereka dibayar untuk itu. Lalu, sisa waktu dimana mereka masih bekerja setelah jam kerja resmi mereka, mereka anggap itu sebagai PENGABDIAN kepada negara dan kepada pasien yang mereka rawat.

Saya lalu berpikir ketika itu

Ya, konsep ini masuk akal. Kalau seorang pekerja publik/pekerja pemerintah hanya bekerja pada jam resmi (yang untuknya mereka dibayar), mereka belum mengabdi kepada negara. Jam kerja ekstra yang tidak dibayar itulah yang mestinya baru disebut pengabdian.

Berbeda dengan kultur di Indonesia, bukan? Pekerja yang bekerja melebihi jam kerja mereka, kerap meminta uang lembur kepada atasan. Padahal tidak jarang mereka sudah pulang bahkan sebelum jam kerja mereka habis.

Sakit sedikit bukan halangan untuk tidak masuk kerja

sxc.hu, uploaded by d-s-n

Di Jepang, apabila seseorang sakit, ia harus memakai masker penutup hidung dan mulut. Mereka yang sedang sakit sadar bahwa mereka bisa menularkan penyakit mereka kepada orang lain.

 

Nah, walaupun mereka sedang sakit flu/demam, mereka tetap masuk kerja. Mungkin sampai mereka tidak bisa jalan baru mereka ijin tidak masuk kerja. Dan mereka tidak berdalih sedang sakit untuk mengurangi bobot pekerjaan mereka.

Hal ini yang mereka teruskan kepada anak mereka. Apabila sang anak flu atau suhu badannya lebih tinggi dari normal, orang tua tetap menyemangati mereka untuk sekolah.

Lalu saya perhatikan lagi perlakuan orang tua pada anak mereka yang masih batita/balita. Anak seusia ini masih sering jatuh apabila mereka berjalan atau berlari. Nah, ketika sang anak jatuh, orang tuanya tidak membantu anaknya untuk berdiri lagi, tapi menyemangati anaknya untuk berdiri sendiri, “Gambatte, Kenji san”, kurang lebih itulah kata-kata yang dikatakan kepada anak mereka yang jatuh.

Tidak ada transport bukan halangan untuk tidak masuk kerja

Ketika bencana terjadi, beberapa line kereta tidak dapat beroperasi. Lalu apakah para pekerja ini tidak masuk kerja? Tidak. Mereka rela untuk naik sepeda atau berjalan kaki ke tempat kerja mereka.

Saya pernah menonton berita dimana reporter menanyakan pada seseorang yang hendak bekerja namun tidak ada line kereta menuju kantornya. Sang pekerja ini berkata bahwa sekarang, ia harus berjalan 3-4 jam untuk mencapai kantornya dan harus berangkat lebih pagi agar tetap datang tepat waktu. Luar biasa.

Di tempat kerja… ya kerja

Maksud saya begini, sering saya melihat di toko-toko di Bandung dimana pegawainya bergosip ria ketika tidak ada pelanggan. Bahkan di pelayanan publik seperti kantor pos, kantor imigrasi dan kantor pemerintah, banyak pegawainya yang menonton TV, bermain HP, browsing di internet dan bergosip. Mereka baru bekerja serius (itu pun pura-pura serius) apabila ada atasan.

Di Jepang, tidak ada yang seperti itu. Selama satu tahun, saya tidak pernah menemukan pegawai yang menganggur, mengobrol, bermain HP di tempat kerja mereka. Mereka begitu sigap baik ketika ada pengunjung maupun tidak.

“Irashaimase” (いらしゃいませ) adalah kata yang diucapkan semua pegawai di dalam toko. Irashaimase merupakan kata sopan untuk selamat datang/welcome. Lalu ketika customer mereka keluar toko, mereka berkata “arigato gozaimasu” (ありがとございます) yang berarti terima kasih sambil membungkukan badan. Hal ini juga yang terjadi di kantor-kantor pemerintah. Mereka begitu sigap dalam melayani masyarakat.

Inilah yang menjadikan toko-toko di Jepang begitu bersih dan tertata rapih. Ini juga yang membuat pelayanan publik di Jepang sangat berkualitas sehingga masyarakat merasa nyaman ketika berkunjung.

Merasa bersalah ketika meminta cuti atau melakukan kekeliruan di tempat kerja

Pekerjaan adalah nomor satu, pelayanan kepada masyarakat adalah pengabdian. Filosofi inilah yang menjadikan pekerja Jepang merasa malu meminta cuti kepada atasannya. Berbeda dengan budaya kita di Indonesia, jatah cuti harus digunakan semaksimal mungkin. Mereka merasa tidak berguna ketika mereka tidak masuk kerja.

Mereka juga merasa bersalah apabila melakukan kekeliruan di tempat kerja. Mereka akan meminta maaf dengan berkata “gomen nasai” (ごめんなさい) yang berarti “mohon maaf” sambil membungkukan badan kepada teman kerja, atasan dan kepada customer yang mereka layani. Mereka tidak berdalih apapun untuk kekeliruan mereka, mereka mengaku bahwa mereka salah dan meminta maaf.

Dalih/alasan itu banyak dan bisa dicari dengan mudah. Waktu lah, lupa lah bahkan alasan lain yang dibuat-buat agar kita dimaklumi. Hal ini tidak berlaku di Jepang. Kalau saya berbuat salah, ya salah, TITIK.

Mampukah Indonesia belajar dari bangsa Jepang?

Pertanyaan ini yang saya tanyakan kepada diri sendiri ketika dalam perjalanan pulang dari Jepang. Saya lalu bertanya juga

Apa sich kurangnya Indonesia? Negara tropis dengan suhu kamar (rata-rata 25 derajat celcius). Apa saja ditanam jadi. Kekayaan alam melimpah ruah. Generasi muda yang melimpah jumlahnya. Lalu mengapa bangsa ini masih segini-segini aja?

Satu hal yang membuat saya miris mendengarnya adalah ketika harga cabai meroket beberapa bulan yang lalu. Hal yang sebetulnya lucu bisa terjadi di Indonesia.

Baik buruknya Indonesia, Indonesia tetaplah negaraku. Semoga tulisan ini menjadi berkat bagi para pembaca. Gambatte Kudasai.

– Be blessed –

related posts:

Read Full Post »

Tiba-tiba sehabis makan malam barusan, saya teringat kisah seorang pemain golf berikut:

Suatu ketika seseorang sedang bermain golf. Di tengah permainan, bola golf yang ia pukul jatuh tepat ke dalam bungkusan yang terbuat kertas. Salah satu aturan dalam permainan golf, pemain dilarang menyentuh bola golf hingga akhir permainan.

Ia pun lalu memukul bola golf beserta kertas pembungkus itu dan berharap bola tersebut bisa keluar dari kertas pembungkus. Namun sayang, bola tersebut tidak beranjak keluar.

Ia lalu memiliki ide untuk membakar dahulu pembungkus kertas sehingga bola golf dapat kembali dipukul dengan normal. Alhasil dia mampu menyelesaikan permainan dengan memasukan bola golf ke dalam holenya.

Ia lalu memetik pelajaran dari pengalamannya tersebut. Kertas pembungkus itu ibarat beban hidup yang kita bawa kemana pun kita pergi. Kita berharap dengan berusaha lebih keras menjalani hidup, kita bisa keluar dari beban hidup kita. Sayangnya, kita malahan menjadi semakin lelah karena beban itu tidak kita selesaikan.

Beban hidup kita bisa berarti kesalahan masa lalu, rasa bersalah, rasa kehilangan seseorang, rasa sakit hati, akar pahit dengan seseoranga atau trauma yang berkepanjangan.

Jika kita ingin melanjutkan hidup dengan lebih efektif, pertama-tama kita harus menyingkirkan beban hidup kita. Sama seperti yang dilakukan sang pemain golf, kita harus “membakar” beban hidup kita dahulu.

image from sxc.hu, uploaded by cflart

Kita adalah produk masa lalu kita, hal ini tidak dapat dipungkiri. Namun bukan berarti masa lalu kita yang buruk adalah juga masa depan kita. Kita punya pilihan untuk meninggalkan masa lalu kita dan menatap masa depan kita dengan optimis.

Berdamai dengan masa lalu bisa berarti memaafkan diri sendiri, memaafkan orang lain yang menyakiti hati kita atau merelakan seseorang yang telah pergi meninggalkan kita.

Kita tidak bisa berbuat apa-apa dengan masa lalu kita, tapi kita bisa berbuat banyak untuk masa depan kita.

– Be blessed –

Read Full Post »

Dunia dibuat berdecak kagum dengan sikap bangsa Jepang menghadapi bencana 11 Maret 2011 silam. Bangsa Jepang telah memberikan teladan luar biasa bagi dunia tentang bagaimana menyikapi musibah. Musibah yang terjadi diluar kuasa mereka.

Bencana terjadi saat menjelang kepulangan saya ke Indonesia. Setelah bencana itu terjadi, saya menjadi semakin rajin mengikuti berita di media elektronik Jepang. Melalui media, saya belajar banyak mengenai teladan bangsa Jepang ini.

Di posting kali ini, saya ingin berbagi mengenai 6 sikap bangsa Jepang yang patut kita teladani.

Tabah, sabar dan tenang

Mungkin inilah sikap yang paling dikagumi oleh dunia. Bangsa Jepang tidak mengeluh, tidak histeris berlebihan ketika mendapat musibah. Mereka tetap sabar walau hati mereka sakit, air mata bercucuran akibat rumah mereka hancur diterjang gempa dan tsunami. Mereka dengan sabar mencari anggota keluarga mereka yang hilang. Memungut puing-puing yang tersisa dari rumah mereka yang hancur.

Mereka juga tenang ketika musibah menerpa mereka. Bangsa Jepang pernah mendapat musibah yang lebih besar ketika bom atom jatuh di Hiroshima dan Nagasaki pada perang dunia II dan mereka mampu bangkit dengan cepat.

Video berikut dari NHK News mungkin menggambarkan ketabahan dan kesabaran mereka ketika menghadapi bencana

Tetap tertib

Bangsa Jepang terkenal dengan ketertibannya. Selama tinggal di Jepang saya terkagum-kagum dengan sikap mereka yang satu ini. Saya semakin terkagum-kagum ketika mereka tetap menjaga sikap ini pada saat musibah. Foto berikut adalah antrian orang Jepang di sebuah toko di tengah krisis makanan di daerah pengungsi.

image from getty image

Tidak ada penjarahan yang terjadi di daerah bencana walaupun krisis makanan terjadi. Orang Jepang tetap antri dengan tertib, serta membayar sesuai harga. Mereka tidak berdalih “bencana” untuk melakukan penjarahan. Tidak ada keegoisan di sini, luar biasa.

Saya juga melihat beberapa tweet yang menggambarkan suasana lalu lintas ketika gempa terjadi, berikut teks yang telah di translate ke dalam bahasa Inggris (more tweets here)

It’s nothing new for a green light to only get one car through, but I was moved to see people giving way to each other. Traffic was paralyzed at one complicated intersection for 5 minutes, but the only honks I heard were ones signaling ‘thanks’. Amidst these scary but warming times, I’ve come to like Japan even more.

Translasi dalam bahasa Indonesia kira-kira demikian

Bukanlah hal yang baru ketika lampu hijau menyala di tengah kemacetan hanya memungkinkan untuk satu mobil untuk lewat, tapi saya terkagum ketika melihat orang-orang memberikan jalan kepada orang lain. Lalu lintas kacau pada suatu perempatan selama 5 menit, tapi suara yang saya dengar hanyalah “terima kasih”. Suasana memang menakutkan, namun hal ini menjadikan suasa menjadi hangat. Saya sangat menyukai Jepang

Luar biasa, bukan? Ketika kemacetan terjadi akibat gempa, orang Jepang tetap tertib. Tidak ada klakson yang berbunyi ketika kemacetan terjadi. Padahal situasi ketika itu cukup gawat dan mencekam.

Tidak egois

Berikut beberapa tweet yang menggambarkan bagaimana orang Jepang saling membantu satu sama lain,

Disneyland was giving out snacks from the shops. Some high school girls were taking a whole bunch, and I thought ‘wtf’, but then I saw them giving them out to kids at the shelters. Parents can’t move around right now, so I’m both thankful and worried.

Translasi dalam bahasa Indonesia

Disneyland memberikan makanan ringan gratis dari toko mereka. Lalu beberapa anak sekolahan perempuan mengambil beberapa makanan lalu saya berkata ‘wtf’, lalu saya melihat mereka memberikan makanan itu kepada anak-anak di pengungsian. Para orang tua tidak dapat bergerak banyak sekarang, maka saya bersyukur dan juga khawatir.

Tweet yang lainnya

One person quietly picked up scattered goods at a supermarket, lined up and paid for her groceries. Another old lady gave up her seat to a pregnant woman. A foreigner who watched this was speechless. Wow, Japan.

Translasi dalam bahasa Indonesia

Satu orang mengambil barang-barang yang berserakan di supermarket, mengantri lalu membayar belanjaanya. Satu orang tua memberikan kursi nya untuk wanita yang sedang hamil. Dan seorang asing yang menyaksikan ini tidak mampu berkata apa-apa. Wow, Jepang

Tweet yang di atas ini berhubungan dengan poin yang kedua, dimana orang Jepang walaupun berada di supermarket yang sudah porak poranda akibat gempa, masih mengantri dan membayar.

Tweet yang berikut ini membuat saya speechless

I was tired waiting at the station, when some homeless people gave me a cardboard box to sit on to keep warm. This after we pretend they don’t even exist. It’s warm.

Translasi dalam bahasa Indonesia

Saya sedang kelelahan ketika menunggu di stasiun, ketika seorang tunawisma memberikan saya kardus untuk saya duduk dan menjaga agar tetap hangat. Hal ini terjadi ketika kami berpura-pura tidak melihat mereka. Sungguh hangat.

Bahkan seorang tunawisma pun mengerti akan arti ketidakegoisan. Luar biasa.

Pemimpin yang SIAP untuk rakyatnya

Hampir setiap hari Prime Minister Naoto Kan dan Chief Cabinet Secretary Yukio Edano memberikan jumpa pers untuk memberitahu perkembangan terkini mengenai penanganan bencana. Mereka juga memberikan suntikan semangat untuk rakyat Jepang agar tabah menghadapi bencana.

Foto berikut adalah perubahan wajah Yukio Edano hanya dalam waktu 10 hari,

Source here

Menurut media elektronik Korea Herald, Yukio Edano memperoleh simpati dari banyak orang di dunia maya untuk tidur dan memperhatikan dirinya sendiri karena wajahnya tampak tua akibat kurang istirahat. Pemimpin yang patut diteladani.

Berikut adalah video pidato PM Naoto Kan di hari kedua setelah bencana, beliau menenangkan dan memberi semangat rakyatnya yang terkena musibah,

Fukushima Fifty

Berikut adalah kutipan yang saya ambil dari Liputan 6.com

Nama Fukushima 50 atau Fukushima Fifty kian mendunia setelah stasiun Televisi NHK, ABC News dan sejumlah media internasional memberitakannya. Mereka adalah sekelompok pekerja reaktor nuklir yang siap berjibaku menjinakkan reaktor nuklir di Fukushima Daiichi yang terus tertimpa masalah sejak gempa melanda Jepang, 11 Maret silam.

Dunia mulai mengenal Fukushima Fifty dari blog Michiko Otsuki, seorang pekerja wanita di reaktor Fukushima. Beberapa hari lalu Michiko menulis kisah heroik mereka.

Menurut Michiko, saat diungsikan bersama sekitar 800 orang pekerja lain, ia menyaksikan sejumlah rekannya yang tidak lari dari reaktor. Mereka justru terjun untuk langsung berupaya mengatasi keadaan. Terlepas dari kemungkinan mereka menjadi mangsa radiasi berbahaya.

Meski jumlahnya diduga lebih dari 50 orang, masyarakat Jepang dan dunia telanjur mengenal mereka dengan sebutan Fukushima Fifty. Bagi warga mereka adalah pahlawan yang siap mengorbankan nyawa demi keselamatan orang lain. Sikap seperti ini mendapat penghargaan tinggi dalam masyarakat yang terkenal dengan budaya bushido tersebut.

Perdana Menteri Jepang Naoto Kan bahkan sempat menyatakan dukungan moralnya bagi Fukushima Fifty. Bagi Kan, kelompok ini telah melakukan upaya terbaik tanpa mementingkan diri sendiri.

Keberanian Fukushima Fifty telah menginspirasi puluhan pekerja reaktor-reaktor nuklir lainnya di seantero Jepang. Mereka kini telah menawarkan diri untuk berjibaku bersama Fukushima Fifty menjinakkan reaktor nuklir Fukushima.

Pemberitaan yang transparan dan tidak berlebihan

Saya merasa ada perbedaan pemberitaan media Jepang dan media asing termasuk Indonesia. Media Jepang memberikan informasi berdasarkan fakta yang ada, transparan dan tidak berlebihan.

Secara pribadi saya kecewa dengan beberapa pemberitaan di media Indonesia. Ketika saya bertelepon dengan Ibu saya, beliau kini sudah malas untuk menonton berita, karena hanya memberikan kepanikan. Seorang teman di Kyoto bahkan berkata bahwa ia terganggu dengan penayangan bencana di Jepang yang diiringi dengan lagu sedih dan memilukan, ia berkata

bencana bukanlah drama yang harus diiringi musik

Dan ternyata hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia, di Amerika pun terjadi seperti ini. Berikut adalah contoh perbedaan pemberitaan antara media Jepang, NHK dengan media di US yang saya kutip dari Garr Reynolds blog,

NHK News

Huffington News

Satu hal lagi yang membuat saya kagum mengenai media Jepang. Ketika bencana terjadi, semua siaran televisi beralih ke pemberitaan. Pemberitaan tidak akan berhenti hingga situasi dirasa sudah normal. Dan satu hal lagi, pemberitaan ini sama sekali tidak diselingi iklan komersil. Artinya media Jepang tidak memanfaatkan momen untuk meraup keuntungan. Hal yang menjadi prioritas utama mereka adalah kebutuhan masyarakat akan informasi yang benar.

Pemberitaan yang valid itu penting bagi masyarakat. Pemberitaan yang jujur tanpa dilebih-lebihkan dapat menjadikan masyarakat lebih tenang dalam menghadapi bencana. Bencana bukanlah hal yang pantas menjadi sarana propaganda, sarana rating televisi atau apapun itu. Media massa dunia harus belajar pada media massa Jepang.

– Be blessed –

Read Full Post »

Akhir-akhir ini saya sering merefleksikan diri mengenai apa yang telah saya peroleh selama menempuh pendidikan di Jepang. Hampir satu tahun lamanya saya menempuh pendidikan master double degree di sini.

Dari semua momen-momen refleksi itu, saya mengambil kesimpulan bahwa

dari 100% pendidikan yang saya peroleh, hanya 15% diantaranya merupakan pendidikan akademik, sedangkan sisanya merupakan pendidikan “kehidupan”.

Saya merasa bahwa saya lebih belajar banyak hal mengenai nilai-nilai kehidupan ketimbang hal-hal akademik. Di posting kali ini saya ingin berbagi mengenai nilai-nilai kehidupan yang saya peroleh.

Saya tidak berkata hal-hal akademik itu tidak penting, namun ada hal yang lebih penting ketimbang hal-hal akademik itu yang sebetulnya lebih menjadikan saya bertumbuh menjadi manusia yang lebih baik lagi.

Sebelumnya, inilah mata kuliah dan topik riset yang saya peroleh di Jepang:

  1. Topics in Computational Science
  2. Introduction to Frontier on Computational Science
  3. Partial Differential Equation
  4. Low Dimensional Geometry
  5. Theory of Numerical Analysis
  6. Mathematical Modeling
  7. Topics in Computational Material Science
  8. Computational Solid State Physics
  9. Computational Molecular Chemistry
  10. Introduction to Computational Material Science
  11. Electron Theory for Computational Material Science
  12. Riset Topik : Particle Method for Fluid Dynamics Modeling

Itulah mata kuliah akademik yang saya peroleh. Jujur, bahwa di luar topik riset saya tidak ingat materi mata kuliah-mata kuliah di atas. Nilai yang saya peroleh memang memuaskan, karena memang di sini tidak ada ujian untuk mata kuliah S2. Nilai diperoleh dari absensi dan tugas. Inilah yang membedakan sistem pendidikan S2 di Indonesia dan di Jepang.

 

image from sxc.hu uploaded by Ove Tøpfer

Singkat kata, hanya sedikit pengalaman akademik yang saya peroleh. Sedangkan mata kuliah “kehidupan” yang saya pelajari adalah:

Tanggung Jawab

Selama tinggal di Jepang, saya semakin diajar untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Tidak menyalahkan orang lain apabila saya mengalami kesulitan atau kemunduran dalam pendidikan. Saya adalah satu-satunya orang yang dapat memutuskan kondisi hidup saya. Saya belajar untuk tidak berdalih dan memberikan alasan apabila saya salah. Kalau saya salah ya salah dan sedapat mungkin tidak menyalahkan keadaan atau orang lain.

Mengambil Tanggung Jawab Lebih

Poin ini saya buat tersendiri berbeda dengan sebelumnya. Kita memang sebaiknya bertanggung jawab pada tugas dan kewajiban pokok kita. Namun dari pengalaman saya, kita bisa memperoleh banyak pengalaman ketika kita mengambil tanggung jawab lebih.

Contoh pengalaman saya adalah ketika proses keberangkatan ke Indonesia untuk mendampingi sensei yang menjadi Visiting Professor. Ketika itu, saya menjadi penghubung dua universitas yakni ITB dan Kanazawa University. Persoalan administrasi ketika itu memang sulit karena ini adalah pertama kalinya Professor dari Kanazawa University diundang untuk mengajar di universitas lain. Saya belajar banyak ketika itu dan puji Tuhan semuanya berjalan dengan lancar.

image from sxc.hu uploaded by Nicole Shelby

Kerja Keras dan Tidak Mengeluh

Bangsa Jepang terkenal karena kerja keras mereka dan dedikasi penuh mereka terhadap pekerjaan. Di sini saya banyak melihat langsung bagaimana mereka bekerja keras dan itulah juga yang saya tiru dari mereka.

Mereka juga tidak pernah mengeluh pada pekerjaan mereka. Betapapun berat pekerjaan mereka, mereka tetap mengerjakannya dengan penuh dedikasi. Satu hal yang saya kagum dari mereka adalah para pekerja publik yang bekerja melebihi jam kerja mereka. Seorang teman Indonesia yang bekerja sebagai perawat berkata bahwa sebetulnya jam kerja orang Jepang di rumah sakit itu hanya sampai jam 4 sore, namun mereka bersedia bekerja hingga larut malam TANPA DIBAYAR.

Iya, tanpa dibayar. Mereka menganggap jam kerja ekstra tersebut adalah pengabdian bagi orang-orang yang mereka layani. Berkebalikan dengan budaya bekerja di Indonesia, dominan pekerja Indonesia mengeluh apabila mereka bekerja melebihi jam kerja mereka dan kerap meminta uang lembur.

 

image from Flickr

Mengambil Keputusan Sendiri

Banyak momen selama hidup di Jepang di mana saya harus mengambil keputusan sendiri. Keputusan ini terkadang berbeda dengan teman-teman yang lain. Contohnya adalah ketika saya memutuskan untuk meninggalkan kelas Bahasa Jepang (yang sebetulnya gratis), padahal saya baru 3 minggu minggu belajar.

Ketika itu hanya saya yang meninggalkan kelas bahasa itu karena saya pikir kelas ini tidak terlalu penting untuk saya. Saya berpikir bahwa kelas ini hanya membuang-buang waktu saja. Akhirnya saya bisa memperoleh waktu yang lebih banyak untuk melakukan riset.

Contoh lainnya adalah ketika saya bekerja sendirian di Lab dari pagi hingga malam (bahkan di hari Sabtu/Minggu). Saya berangkat dari apartment ke kampus sendirian. Awalnya memang sulit untuk berangkat pagi-pagi dan sendiri namun saya berpikir prioritas riset yang lebih penting ketimbang menunggu teman untuk berangkat sama-sama. Dan hasilnya, saya bisa selesai lebih cepat dan diperbolehkan untuk pulang ke Indonesia lebih dulu dibanding mahasiswa lain.

Kebudayaan Jepang

image from sxc.hu uploaded by Ove Tøpfer

Saya menulis dalam posting tersendiri mengenai ini. Saya kagum akan banyak kebudayaan Jepang, dari desain, pemandian air panas, dedikasi mereka terhadap pekerjaan dan filosofi hidup.

Sebelum ke Jepang, saya banyak membaca mengenai Jepang dan puji Tuhan saya diberi kesempatan untuk melihat dan merasakan langsung kebudayaan ini. Ini adalah pengalaman yang sangat berharga.

Persahabatan

Saya ke Jepang bersama dengan 9 mahasiswa lainnya. Ini adalah pengalaman pertama saya untuk tinggal jauh dari kerabat ketika menempuh pendidikan.

Kami tinggal bersama di satu kompleks apartment. Kami sering menghabiskan waktu untuk bermain bersama. Tidak dipungkiri ada banyak masalah dan gesekan diantara kami. Saya kira hal ini wajar karena kami harus memahami orang lain yang tinggal bersama kami.

Memahami kebiasaan orang lain, sisi psikologis orang lain dan belajar menghormati keputusan orang lain. Kami belajar dewasa dalam hal hubungan antar manusia. Ini adalah pelajaran berharga bagi kami.

Puji Tuhan, tidak ada masalah besar diantara kami dan kami bisa mempertahankan kekompakan dan menjunjung tinggi nilai persahabatan. Saya bangga memiliki mereka sebagai teman seperjuangan. Mereka luar biasa.

we are family

Saya adalah Duta Negara

Saya tersadar ketika berpartisipasi dalam event-event International Student Festival bahwa saya membawa nama Indonesia ke Negeri Sakura ini. Ini juga merupakan tanggung jawab, karena saya harus menjaga nama baik bangsa serta memberikan hasil yang maksimal selama menempuh pendidikan di sini.

Satu contoh yang paling unik adalah ketika kami menampilkan tarian Saman di suatu gathering International Student. Jujur, saya paling enggan kalau diminta untuk menari. Namun ketika itu saya berpikir bahwa ini adalah untuk Bangsa dan Negara, untuk apa saya merasa risih dan malu?

Saya berlatih bersama teman-teman lain untuk event spesial ini dan Puji Tuhan kami mendapat sambutan yang meriah dari para mahasiswa dari negara lain dan staf Kanazawa University. Berikut video yang berhasil diambil ketita itu:

Makna yang saya peroleh adalah

Saya tidak ada bedanya dengan duta besar, dengan atlit yang berpentas di kejuaraan International, dengan siswa yang bertarung di Olimpiade International atau bahkan duta Indonesia di organisasi penting dunia. Saya adalah orang Indonesia yang memiliki kewajiban bagi bangsa dan negara TITIK.

Timnas Indonesia Kanazawa University

So, saya memang akan memperoleh gelar Msi dan Msc setelah pendidikan S2 saya ini selesai. Namun, saya merasa bahwa gelar tersebut tidaklah sepenting pelajaran nilai-nilai kehidupan yang saya peroleh.

Semoga tulisan ini menjadi berkat.

– be blessed –

related posts:

Read Full Post »

Musim panas tahun lalu, sensei mengajak kami para anggota lab orang Indonesia untuk bermain tenis lalu dilanjutkan berendam di onsen (温泉). Onsen merupakan sebutan untuk tempat berendam air panas publik di Jepang. Kami merasa antusias ketika itu karena belum pernah berendam air panas di Jepang.

Singkat kata kami menerima ajakan itu dan sensei pun tampak bersemangat mengajak kami. Selesai bermain tenis, kami lalu melakukan perjalanan menuju onsen. Di perjalanan, sensei bercakap-cakap dengan kami mengenai etika penting yang harus kami patuhi, demikian kurang lebih percakapannya

sensei  : do you feel tired after play tennis ?
me        : yes, since I never played tennis before.
sensei  : so, onsen will be good treatment for your health after exercise.
me        : oh, that’s good
sensei : but in Japanese hot spring, you are not allow to wear any thing
me        : WHAT ?

Ups, dan ternyata benar. Sesampainya di sana, semua orang yang berendam di onsen tidak menggunakan pakaian apapun, alias telanjang. Saya merasa risih ketika itu, bagaimana tidak? Terakhir kali saya mandi bersama, telanjang bulat dengan orang lain adalah ketika saya masih duduk di SD kelas 2. Dan sekarang? saya harus telanjang di depan teman-teman kuliah, di depan sensei dan di depan semua orang Jepang yang ada di situ? WHAT?

Dengan risih dan malu-malu, kami mahasiswa Indonesia mau tidak mau, suka tidak suka harus ikut berendam. Karena kami merasa tidak enak kepada sensei apabila tidak jadi berendam. Ya begitulah, singkat kata, kami slama 15 menit berendam tanpa mengenakan apapun di onsen. Sungguh pengalaman yang unik.

Onsen, unbelievable isn't it?

Keesokan harinya, kami di lab masih membicarakan “peristiwa” yang unik itu. Kami pun tertawa dan merasa heran pada orang-orang Jepang,

Mereka ini ga malu apa? berendam bersama tanpa mengenakan apapun?

Naked Presenter Book

 

Nah, di musim gugur saya membeli buku public speaking/presentasi berjudul “Naked Presenter”. Buku ini mengambil pelajaran dari filosofi Onsen untuk teknik membawakan presentasi baik menggunakan slide atau tidak. Dari buku inilah saya lalu mengerti filosofi dibalik etika ber-onsen ria di Jepang.

Ternyata, etika telanjang bulat itu berarti keterbukaan dan kejujuran dalam percakapan. Jadi, biasanya kolega kampus/kantor bersama-sama berendam di Onsen untuk bercakap-cakap. Nah, di Onsen, mereka bisa bercakap-cakap secara bebas satu sama lain. Percakapan ini biasanya sulit terjadi di kampus/kantor karena adanya “gap” (jenjang) jabatan antara atasan dan bawahan atau sensei dan gakusei (mahasiswa). Di Onsen, mereka bisa saling ngobrol secara bebas, tanpa melihat jenjang/pangkat. Singkat kata

dengan telanjang bulat, pangkat/jabatan/status hilang sama sekali, mereka berbicara seperti halnya “manusia biasa”, telanjang tanpa apapun yang biasanya menjadi penghambat dalam komunikasi.

Hal ini juga berarti percakapan yang jujur, bahwa

dengan telanjang bulat, semua orang melepas kebohongan/kepura-puraan yang mungkin selama ini melekat ketika mereka berada di kantor/kampus.

Filosofi yang menarik, bukan? Filosofi ini mengajarkan kita untuk bercakap-cakap secara jujur dan terbuka. Melepas kepura-puraan dan kebohongan serta tujuan lain dalam percakapan normal. Inilah filosofi orang Jepang dalam berkomunikasi antar manusia.

image from sxc.hu, uploaded by Abdulhamid Al Fadhly

Terkadang dalam dunia kita di keluarga, pekerjaan dan lingkungan lainnya, kita kesulitan dalam mengkomunikasikan isi hati kita kepada orang lain. Terkadang kita hendak menjawab “tidak” untuk suatu hal namun kita terpaksa berkata “ya” atau sebaliknya karena kita enggan untuk jujur pada orang lain. Takut menyinggung orang lain, takut dikatakan yang tidak-tidak oleh orang lain dan ketakutan-ketakutan lainnya yang menyebabkan kita enggan dan ragu-ragu dalam berkomunikasi. Dari filosofi onsen ini kita belajar mengenai keterbukaan dan kejujuran dalam berkomunikasi.

Komunikasi yang jujur dan terbuka mampu menjadikan hubungan antar manusia lebih erat dan tentunya menjadikan pekerjaan mencapai hasil yang maksimal.

– be blessed –

related post : pelajaran hidup dari budaya Jepang (Zen)

Read Full Post »

Saya merupakan penggemar film. Walaupun film itu kebanyakan fiksi dan hanya beberapa yang diangkat dari kisah nyata, menurut saya ada banyak pesan kehidupan yang bisa kita peroleh dari menonton film.

Kira-kira 2 bulan yang lalu saya menonton 6 seri film Star Wars. Film ini sangat menarik dan unik. Unik karena sekuel Star Wars dimulai dari trilogi episode 4,5 lalu 6 yang dimulai pada tahun 1977 – 1983 masing-masing berjarak tiga tahun. Lalu trilogi episode 1,2 dan 3 pada tahun 1999-2005 juga masing-masing berjarak tiga tahun.

Lalu film ini sangat menarik karena karakter yang bermain di film ini sangat kuat dan tentunya ada banyak pesan kehidupan dari film ini. Rasanya bagi mereka yang pernah menonton film ini, pesan kehidupan yang paling banyak diperoleh adalah dari tokoh Yoda. Berikut video yang saya peroleh dari YouTube ketika Yoda berkata pada Luke Skywalker

Quote yang sangat bermakna dari cuplikan video tersebut adalah:

do or do not, there is no try – Yoda

atau dalam terjemahan bahasa Indonesianya

lakukan atau tidak, tidak ada yang namanya coba-coba

Seringkali ketika kita memperoleh tugas dari orang lain kita berkata, “oke, akan saya coba kerjakan” atau ketika diberi tantangan dalam pekerjaan, “saya akan mencoba memberikan yang terbaik”. Kalau mau jujur, kata “coba-coba” inilah yang menyebabkan kita kurang sungguh-sungguh dalam melakukan pekerjaan tersebut.

Di militer misalnya, ketika sang komandan memberikan perintah kepada bawahannya, sang bawahan akan berkata “siap, laksanakan” dan bukan “siap,akan saya coba laksanakan”. So, jawaban yang tanpa ada kata “coba” ini memberikan ketegasan dan kepenuhan hati untuk melaksanakan tugas.

Kata “coba-coba” pun menyiratkan keraguan kita. Kita tidak yakin akan hasil baik yang kita akan peroleh sehingga kita menggunakan kata ini sebagai dalih. Dan tentunya segala sesuatu yang dimulai dengan keragu-raguan tentu hasilnya tidak maksimal.

Apa yang tokoh Yoda katakan ini mengingatkan kita untuk bertindak tanpa keragu-raguan, memberikan yang terbaik serta bertindak sepenuh hati. Lakukan atau tidak, tidak ada yang namanya coba-coba.

Yoda & Luke Skywalker

Apa yang kita katakan mempengaruhi tindakan kita. Ketika kita berkata dengan ragu-ragu, demikianlah kita menjadi orang yang ragu-ragu. Ketika kita berkata dengan tidak sepenuh hati, demikianlah tindakan kita menjadi tidak maksimal.

Coba bayangkan ketika seorang pemuda yang datang kepada calon mertua lalu berkata:

saya akan mencoba membahagiakan anak bapak dan ibu

Orang tua mana yang tidak merasa ragu-ragu pada pemuda ini? Bahkan mungkin sang calon isri pun merasa ragu-ragu, bukan? Atau ketika seorang calon akuntan hendak melamar di perusahaan lalu berkata:

saya akan mencoba untuk jujur dalam mengelola keuangan perusahaan bapak

Atasan mana yang tidak ragu-ragu pada calon karyawannya ini?

Bayangkan anda sebagai calon mertua dan calon atasan pada kasus sederhana di atas. Masuk akal, bukan? Bahwa dari kata-kata kita bisa menilai kesungguhan hati seseorang.

So, do or do not, there is no try.

– be blessed –

Read Full Post »

Sepuluh hari lagi saya akan meninggalkan Jepang. Hampir satu tahun saya tinggal di Jepang untuk melanjutkan studi gelar ganda program Master di Kanzawa University (金沢大学).

Bukan hanya pengalaman akademik yang saya peroleh di sini, namun juga pengalaman hidup yang memberikan pelajaran tersendiri secara pribadi. Di posting kali ini dan beberapa posting berikutnya, saya ingin sekedar berbagi mengenai kebudayaan Jepang yang bisa kita jadikan sebagai pelajaran kehidupan.

Kebudayaan yang saya maksud di sini meliputi gaya hidup, kebiasaan serta filosofi yang dianut oleh orang-orang Jepang yang sempat saya temui di sini. Filosofi yang ingin saya bagikan pertama adalah filosofi Zen.

Saya mengetahui filosofi Zen pertama kali kurang lebih dua tahun yang lalu ketika saya membaca buku tentang teknik presentasi berjudul presentation zen. Buku ini memberikan pendekatan Zen pada teknik presentasi.

So, apa itu Zen ?

Ada banyak pengertian tentang Zen, menurut saya, Zen itu adalah

Filosofi tentang kesederhanaan (simplicity) dan fokus.

Dengan kata lain, Zen merupakan filosofi hidup yang mengajarkan kita untuk fokus pada kesederhanaan, berfokus pada hal-hal yang penting dan meninggalkan hal-hal yang tidak penting.

Contoh sederhana adalah pada gaya hidup konsumtif. Lihatlah di rumah kita, ada berapa banyak barang yang kita beli namun sebetulnya kita tidak membutuhkannya. Kita termakan oleh iklan komersial mengenai suatu barang yang sebetulnya kita tidak membutuhkannya.

Lihatlah contoh rumah Jepang pada gambar berikut:

Sederhana, bukan?

Umumnya orang Jepang memiliki rumah yang kecil. Rumah kecil bagi orang Jepang bukan berarti mereka miskin (Jepang adalah negara maju, lho) namun karena mereka tidak terlalu terobsesi dengan barang-barang mewah yang memakan tempat di rumah mereka.

Guru les bahasa Jepang saya tahun lalu pernah berkata bahwa

kalau ingin memberikan oleh-oleh untuk orang Jepang, jangan yang besar-besar dan mahal. Cukup yang kecil-kecil karena rumah mereka pada umumnya kecil dan sederhana.

Berbeda dengan budaya kita di Indonesia, bukan ? Di negara kita tercinta ini, memiliki rumah besar dan barang mewah merupakan “ukuran” derajat kita di lingkungan kita. Kita bisa dicap sebagai orang kaya, jabatan besar dsb diukur dari barag yang kita miliki.

Berbeda dengan orang Jepang. “Derajat” mereka diukur dari pekerjaan dan pengabdian mereka bagi orang banyak. Orang yang bekerja keras merupakan orang yang dihormati di negri Sakura ini. Luar biasa, bukan? Inilah yang saya kagumi dari filosofi Zen.

So, aturan utama kesederhanaan adalah

ketahuilah mana yang penting dan singkirkanlah yang tidak penting.

Saya pikir prinsip ini bisa kita terapkan dalah setiap aspek kehidupan kita.

– be blessed –

Read Full Post »

Bulan Februari lalu saya mulai menulis di blog ini dan saya merasa senang karena saya bisa berbagi inspirasi pada para pembaca. Beberapa teman menyempatkan waktu mereka untuk memberikan komentar mengenai beberapa post yang saya tulis di sini. Komentar mereka memberikan semangat bagi saya untuk terus menulis.

Nah, di blog ini setiap awal bulan saya akan menulis review mengenai post terbaik di bulan sebelumnya. Post terbaik ini berdasarkan jumlah klik dan jumlah komentar pada link post tersebut.

Post terbaik bulan Februari lalu adalah life is like a cup of coffee. Tulisan yang saya peroleh dari seorang kawan ini mengingatkan kita mengenai prioritas hidup. Harta dan kekayaan terkadang kita jadikan sebagai fokus hidup, padahal kita tahu bahwa kebahagiaan kita bukanlah diukur dari seberapa banyak yang kita miliki.

Saya kira contoh terbaik untuk hal ini adalah Bill Gates. Saya agak terkejut dengan berita yang ada di media elektronik detik.com yang berjudul mengapa Bill Gates bukan orang terkaya di dunia saat ini? Bill Gates telah kehilangan predikat sebagai orang terkaya di dunia karena ia kini aktif dalam kegiatan sosial dengan yayasannya Bill & Melinda Gates Foundation yang ia dirikan bersama sang istri, Melinda Gates.

Bill Gates merupakan pendiri Microsoft bersama Paul Allen dan telah memperoleh kekayaan yang luar biasa melimpahnya dari perusahaan software tersebut. Ia telah menjadi salah satu orang terkaya di dunia. Luar biasa bukan ?

Namun, pada bulan Juni 2006, ia berhenti dari pekerjaannya memimpin Microsoft. Ia ingin lebih berkonsentrasi pada pada kegiatan sosial melalui yayasannya. Isu kemanusiaan yang ia angkat meliputi kesehatan, pendidikan dan lingkungan.

Saya cukup terkaget ketika menyaksikan Bill Gates tahun lalu melakukan presentasi di TED mengenai isu global warming dimana ia bermimpi agar dunia ini bebas dari emisi karbon. Silahkan tonton video-nya di bawah ini

Dan ketika saya search Bill Gates di TED, ternyata sebelumnya ia pernah melakukan presentasi tentang isu kesehatan secara khusus malaria dan isu pendidikan. Berikut video-nya

Dan yang terbaru di TED Conference 2011 yang baru saja berakhir, ia kembali mengangkat isu pendidikan di Amerika. Berikut video-nya

So, Bill Gates telah berubah dari seorang pemimpin perusahaan besar komputer menjadi seorang pekerja sosial. Bill Gates rela meninggalkan predikat orang terkaya di dunia agar bisa mendonasikan kekayaannya untuk yayasan sosial yang ia pimpin.

Seperti pesan dari top post Februari lalu, Bill Gates telah meninggalkan posisi dan kekayaannya (the cup) agar bisa menjadikan dunia ini menjadi tempat yang lebih baik untuk ditinggali oleh manusia (the coffee).

Bill Gates telah mengganti fokus hidupnya dari mendapatkan (get) menjadi memberikan (share). Beliau adalah contoh yang patut kita teladani.

life is about make meaning not make money.

life is not about getting and receive but is about give and share.

– be blessed –

related post : life is like a cup of coffee


Read Full Post »

Di perjalanan menuju kampus barusan, saya teringat kisah dua orang petani meminta hujan. Kisah ini saya dengar pertama kali di film Facing The Giants, kisahnya adalah sebagai berikut

Ada dua orang petani yang ladangnya sedang dilanda kekeringan. Di daerah mereka bercocok tanam sudah lama tidak datang hujan. Kedua petani itu pun memanjatkan doa mereka kepada Tuhan agar hujan turun sehingga mereka bisa kembali bercocok tanam.

Doa mereka sama, ketulusan hati mereka dalam memanjatkan doa juga sama, namun mereka berbeda dalam hal yang mereka lakukan setelah mereka berdoa.

Petani pertama tidak berbuat apa-apa, ia hanya berdoa dan berdoa. Ia begitu prihatin dengan ladangnya yang kering, ia juga khawatir apabila keluarganya kehabisan bahan makanan dan nantinya akan mati kelaparan.

Petani kedua selain berdoa, ia mempersiapkan ladangnya untuk hujan. Dia mencangkul tanah yang kering, ia mempersiapkan bibit dan pupuk untuk bercocok tanam. Padahal belum ada tanda-tanda hujan.

Kira-kira petani mana yang doanya dikabulkan oleh Tuhan ?

Cerita di atas memang diakhiri dengan pertanyaan di film Facing The Giants. Namun, rasanya kita bisa tahu doa petani mana yang dikabulkan oleh Tuhan.

Seringkali kita berhadapan dengan pergumulan yang sama. Berdoa dan berdoa agar suatu hal besar dan ajaib terjadi. P.U.S.H, Pray Until Something Happen, itulah istilah yang sering saya dengar mengenai doa. Saya tidak berbicara bahwa doa itu tidak perlu, doa itu perlu dan wajib namun beriman dalam bentuk perbuatan nyata dan konkrit juga tidak kalah pentingnya.

So, do you prepare your land for rain ?

– be blessed –

Read Full Post »