Sore tadi saya mengunjungi salah satu blog favorit yaitu presentation zen dan ternyata ada posting baru yang berjudul fall down seven times, get up eight: The power of Japanese resilience (jatuh tujuh kali, bangun delapan kali : kekuatan pemulihan Jepang).
Di blog tersebut diceritakan mengenai kekuatan dan ketabahan bangsa Jepang dalam pemulihan pasca bencana alam yang menerpa mereka pada 11 Maret 2011 silam. Kekuatan dan ketabahan mereka berakar dari filosofi yang mereka anut turun temurun. Salah satunya adalah filosofi Gambaru (頑張る). Arti dari Gambaru sendiri yang saya ambil dari blog presentation zen adalah:
the idea of sticking with a task with tenacity until it is completed—of making a persistent effort until success is achieved.
Dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti
Bekerja/berusaha keras pada tugas sampe tugas itu selesai – berusaha keras hingga mencapai sukses.
Di posting kali ini, saya ingin berbagi mengenai pengalaman saya selama tinggal di Jepang yang berhubungan dengan filosofi ini. Pengalaman yang akan saya ceritakan adalah pengalaman yang saya lihat, dengar dan rasakan selama saya tinggal di negeri Sakura.
Teman-teman saya yang berasal dari Jepang sering mengucapkan “Gambatte Kudasai” (がんばってください) yang berarti “lakukan sebaik mungkin”, “jangan menyerah” atau “berikan usaha terbaik”. Gambatte sendiri merupakan bentuk imperatif dari Gambaru. Kata-kata itu merupakan ucapan penyemangat baik dalam kegiatan akademik (belajar) atau kompetisi olahraga.
Apa yang saya pelajari dari mereka bangsa Jepang adalah komitmen tinggi mereka pada pekerjaan. Bangsa Jepang terkenal dengan budaya kerja keras mereka. Ada yang berkata mereka bisa seperti itu karena keadaan negeri mereka yang senantiasa mendapat tantangan dari alam. Gempa, tsunami, gunung berapi, angin ribut, iklim 4 musim sampai pengalaman mereka di medan perang (bom Hiroshima dan Nagasaki).
Jadi, bagaimana pun rusaknya negeri mereka, mereka akan senantiasa bangkit karena kultur pekerja keras mereka sudah berakar kuat. Dan kultur ini terus menerus diajarkan kepada generasi selanjutnya, bahkan kepada warga asing yang tinggal di Jepang.
Pernah suatu ketika saya naik bus sepulang dari kampus. Di bus tersebut terdapat beberapa anak Jepang sepulang dari sekolah. Ketika salah seorang dari mereka turun di pemberhentian bus, secara serentak teman-teman mereka berkata “gambatte kudasai”.
Nah, berikut beberapa pengalaman serta pelajaran lain yang bisa kita ambil:
Dedikasi terhadap pekerjaan
Saya punya seorang teman Indonesia yang berkerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit di Ishikawa Prefecture (tempat saya tinggal). Dia berkata bahwa jam kerja “resmi” para perawat untuk shift pagi adalah hingga pukul 4 sore. Namun, ketika waktu menunjukan pukul 4 sore, tidak ada satupun perawat Jepang yang bersiap-siap untuk pulang. Mereka baru pulang pada pukul 7 atau 8 malam.
Menurut teman saya itu,
orang Jepang bekerja di jam kerja normal adalah pekerjaan WAJIB mereka. Pekerjaan wajib yang harus mereka lakukan karena mereka dibayar untuk itu. Lalu, sisa waktu dimana mereka masih bekerja setelah jam kerja resmi mereka, mereka anggap itu sebagai PENGABDIAN kepada negara dan kepada pasien yang mereka rawat.
Saya lalu berpikir ketika itu
Ya, konsep ini masuk akal. Kalau seorang pekerja publik/pekerja pemerintah hanya bekerja pada jam resmi (yang untuknya mereka dibayar), mereka belum mengabdi kepada negara. Jam kerja ekstra yang tidak dibayar itulah yang mestinya baru disebut pengabdian.
Berbeda dengan kultur di Indonesia, bukan? Pekerja yang bekerja melebihi jam kerja mereka, kerap meminta uang lembur kepada atasan. Padahal tidak jarang mereka sudah pulang bahkan sebelum jam kerja mereka habis.
Sakit sedikit bukan halangan untuk tidak masuk kerja
Di Jepang, apabila seseorang sakit, ia harus memakai masker penutup hidung dan mulut. Mereka yang sedang sakit sadar bahwa mereka bisa menularkan penyakit mereka kepada orang lain.
Nah, walaupun mereka sedang sakit flu/demam, mereka tetap masuk kerja. Mungkin sampai mereka tidak bisa jalan baru mereka ijin tidak masuk kerja. Dan mereka tidak berdalih sedang sakit untuk mengurangi bobot pekerjaan mereka.
Hal ini yang mereka teruskan kepada anak mereka. Apabila sang anak flu atau suhu badannya lebih tinggi dari normal, orang tua tetap menyemangati mereka untuk sekolah.
Lalu saya perhatikan lagi perlakuan orang tua pada anak mereka yang masih batita/balita. Anak seusia ini masih sering jatuh apabila mereka berjalan atau berlari. Nah, ketika sang anak jatuh, orang tuanya tidak membantu anaknya untuk berdiri lagi, tapi menyemangati anaknya untuk berdiri sendiri, “Gambatte, Kenji san”, kurang lebih itulah kata-kata yang dikatakan kepada anak mereka yang jatuh.
Tidak ada transport bukan halangan untuk tidak masuk kerja
Ketika bencana terjadi, beberapa line kereta tidak dapat beroperasi. Lalu apakah para pekerja ini tidak masuk kerja? Tidak. Mereka rela untuk naik sepeda atau berjalan kaki ke tempat kerja mereka.
Saya pernah menonton berita dimana reporter menanyakan pada seseorang yang hendak bekerja namun tidak ada line kereta menuju kantornya. Sang pekerja ini berkata bahwa sekarang, ia harus berjalan 3-4 jam untuk mencapai kantornya dan harus berangkat lebih pagi agar tetap datang tepat waktu. Luar biasa.
Di tempat kerja… ya kerja
Maksud saya begini, sering saya melihat di toko-toko di Bandung dimana pegawainya bergosip ria ketika tidak ada pelanggan. Bahkan di pelayanan publik seperti kantor pos, kantor imigrasi dan kantor pemerintah, banyak pegawainya yang menonton TV, bermain HP, browsing di internet dan bergosip. Mereka baru bekerja serius (itu pun pura-pura serius) apabila ada atasan.
Di Jepang, tidak ada yang seperti itu. Selama satu tahun, saya tidak pernah menemukan pegawai yang menganggur, mengobrol, bermain HP di tempat kerja mereka. Mereka begitu sigap baik ketika ada pengunjung maupun tidak.
“Irashaimase” (いらしゃいませ) adalah kata yang diucapkan semua pegawai di dalam toko. Irashaimase merupakan kata sopan untuk selamat datang/welcome. Lalu ketika customer mereka keluar toko, mereka berkata “arigato gozaimasu” (ありがとございます) yang berarti terima kasih sambil membungkukan badan. Hal ini juga yang terjadi di kantor-kantor pemerintah. Mereka begitu sigap dalam melayani masyarakat.
Inilah yang menjadikan toko-toko di Jepang begitu bersih dan tertata rapih. Ini juga yang membuat pelayanan publik di Jepang sangat berkualitas sehingga masyarakat merasa nyaman ketika berkunjung.
Merasa bersalah ketika meminta cuti atau melakukan kekeliruan di tempat kerja
Pekerjaan adalah nomor satu, pelayanan kepada masyarakat adalah pengabdian. Filosofi inilah yang menjadikan pekerja Jepang merasa malu meminta cuti kepada atasannya. Berbeda dengan budaya kita di Indonesia, jatah cuti harus digunakan semaksimal mungkin. Mereka merasa tidak berguna ketika mereka tidak masuk kerja.
Mereka juga merasa bersalah apabila melakukan kekeliruan di tempat kerja. Mereka akan meminta maaf dengan berkata “gomen nasai” (ごめんなさい) yang berarti “mohon maaf” sambil membungkukan badan kepada teman kerja, atasan dan kepada customer yang mereka layani. Mereka tidak berdalih apapun untuk kekeliruan mereka, mereka mengaku bahwa mereka salah dan meminta maaf.
Dalih/alasan itu banyak dan bisa dicari dengan mudah. Waktu lah, lupa lah bahkan alasan lain yang dibuat-buat agar kita dimaklumi. Hal ini tidak berlaku di Jepang. Kalau saya berbuat salah, ya salah, TITIK.
Mampukah Indonesia belajar dari bangsa Jepang?
Pertanyaan ini yang saya tanyakan kepada diri sendiri ketika dalam perjalanan pulang dari Jepang. Saya lalu bertanya juga
Apa sich kurangnya Indonesia? Negara tropis dengan suhu kamar (rata-rata 25 derajat celcius). Apa saja ditanam jadi. Kekayaan alam melimpah ruah. Generasi muda yang melimpah jumlahnya. Lalu mengapa bangsa ini masih segini-segini aja?
Satu hal yang membuat saya miris mendengarnya adalah ketika harga cabai meroket beberapa bulan yang lalu. Hal yang sebetulnya lucu bisa terjadi di Indonesia.
Baik buruknya Indonesia, Indonesia tetaplah negaraku. Semoga tulisan ini menjadi berkat bagi para pembaca. Gambatte Kudasai.
– Be blessed –
related posts: